• Tentang UGM
  • Tentang SPs
  • Perpustakaan
  • Protal Mahasiswa
  • IT Center
Universitas Gadjah Mada Program Studi
Magister Manajemen Bencana
Universitas Gadjah Mada
  • BERANDA
  • TENTANG KAMI
    • PENGANTAR
    • VISI DAN MISI
  • Akademik
    • Pendaftaran
    • Silabus
    • Mata Kuliah
    • Dosen Pengajar
    • Perkuliahan
  • Gallery
  • KONTAK KAMI
  • Publikasi MMB
  • Beranda
  • Gallery
  • Menyusuri Bantaran Kali Code, Mengamati Resiliensi Warga Hadapi Ancaman Bencana

Menyusuri Bantaran Kali Code, Mengamati Resiliensi Warga Hadapi Ancaman Bencana

  • 18 October 2024, 03.34
  • Oleh: juwandi_sps

Pada hari Kamis, 29 Agustus 2024, mahasiswa Magister Manajemen Bencana dipandu oleh Prof. Bakti Setiawan menyusuri wilayah Kali Code, Kelurahan Terban, Kota Yogyakarta dalam rangka kuliah lapangan Perencanaan Wilayah Berbasis Risiko. Sambil berkelindan di antara kawasan padat penduduk di sepanjang bantaran kali, Prof. Bakti meminta mahasiswa mengamati sekeliling dan mengidentifikasi potensi ancaman bencana yang mungkin terjadi. Sebagai gambaran, dahulu wilayah Terban (dahulu dikenal dengan nama Terbantamanan) merupakan daerah pekuburan etnis Cina. Ini dapat dilihat pada peta Yogyakarta tahun 1925. Setelah 30 tahun, kontrak penggunaan lahan sebagai area pekuburan habis dan para ahli waris perlahan memindahkan lokasi makam. Perpindahan lokasi makam dari area Terban diiringi dengan masuknya warga yang memanfaatkan area ini sebagai permukiman. Tumbuhnya pusat perekonomian seperti Pasar Beringharjo, Pasar Kranggan dan Malioboro menjadi magnet bagi para pendatang. Bagi yang tak mampu membeli atau menyewa hunian, lahan strategis seperti bantaran Kali Code menjadi pilihan. Dari sinilah, permukiman di bantaran Kali Code—salah satunya di wilayah Terban—tumbuh hingga menjadi seperti saat ini.

Sempat beberapa kali digusur dengan dalih penertiban dan penataan ruang, warga bantaran Kali Code menemukan secercah harapan saat Romo Mangun—seorang romo Katolik, arsitek cum aktivis dan penulis—datang ke wilayah tersebut dan melakukan advokasi. Tak hanya memperjuangkan ruang hidup, Romo Mangun juga melakukan pemberdayaan dengan menanamkan nilai-nilai yang kelak jadi fondasi bagi resiliensi masyarakat bantaran Code. Salah satunya dengan menerapkan standar hunian: rumah panggung yang dibangun menghadap ke sungai. Struktur yang tinggi dimaksudkan sebagai mitigasi ancaman banjir, sementara fasad yang menghadap ke sungai dimaksudkan agar warga memelihara sungai sebagaimana halaman depan rumah mereka sendiri. Tak hanya berhenti pada adaptasi hunian, upaya peningkatan kapasitas warga juga dilakukan. Bagaimana menjaga lingkungan dengan tak membuang sampah ke sungai; memanfaatkan sisa makanan agar tak ada yang terbuang; hingga berbagai pelatihan untuk membuka peluang ekonomi. Apa yang dilakukan beberapa dekade lalu seolah melampaui apa yang hari ini digembar-gemborkan sebagai sustainable development.

Prof. Bakti menyampaikan bahwa dalam satu penelitian, diperoleh data bahwa relokasi warga bantaran Kali Code berdasarkan aturan 15 meter dari palung sungai akan menggusur setidaknya sepertiga warga Kota Yogyakarta. Hal ini disusul oleh pertanyaan penting: ke mana lantas mereka akan dipindahkan? Dari sinilah pendekatan berbeda dilakukan. Sesuatu yang sedikit-banyak meneruskan apa yang dimulai oleh Romo Mangun dahulu. Alih-alih relokasi, peningkatan kapasitas dilakukan. Penataan ruang, berbagai program terkait kesehatan, irigasi dan sanitasi diupayakan; kali ini dengan dukungan dari pemerintah dan berbagai organisasi non-pemerintah juga akademisi. Upaya yang lebih humanis ini selanjutnya menjadi fondasi bagi program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh) dari Kementerian PUPR. Sebuah standar baru seiring dengan adopsi SDGs (Sustainable Development Goals) ke dalam paradigma pembangunan nasional. Kampung-kota, sebuah entitas wilayah yang tak terpisahkan dari pertumbuhan kota itu sendiri, seyogyanya menjadi bagian integral yang dirangkul alih-alih dipinggirkan. Hal ini termasuk upaya ketahanan menghadapi berbagai risiko bencana. Yang paling diingat mungkin bagaimana pada kejadian erupsi gunungapi Merapi pada 2010 silam, material lahar dingin dikirimkan melalui aliran sungai. Salah satunya adalah Kali Code yang juga “kebagian” material vulkanik yang bercampur dengan aliran air sebagai akumulasi produk erupsi dan hujan lebat. Selepas tur singkat, para mahasiswa diberikan tugas untuk menyusun rencana mitigasi bagi wilayah pemukiman Kali Code di Terban. Harapannya, selepas mengamati langsung dan memahami konteks sosial dan sejarah wilayah ini, para mahasiswa dapat merumuskan pendekatan yang berpusat pada pemberdayaan manusia dengan memerhatikan berbagai potensi yang ada.

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Recent Posts

  • Praktik Yomenkaigi dalam Simulasi Perancangan Sistem Peringatan Dini Banjir
  • MMB UGM Tunjukkan Aksi Nyata: Pemanenan Air Hujan sebagai Strategi Ketahanan di Wilayah Rawan Kekeringan
  • Dari Kampus ke Lereng Merapi: MMB UGM dan CFHC IPE Perkuat Budaya Tanggap Bencana
  • Evaluasi Kerangka Pentahelix dalam Pelaksanaan Program SPAB di Yogyakarta
  • Mahasiswa MMB UGM Kembangkan Model Penilaian Risiko untuk Situs Warisan Budaya
Universitas Gadjah Mada

Program Studi Magister Manajemen Bencana

Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin

Universitas Gadjah Mada,

Jl. Teknika Utara, Pogung, Sleman, Yogyakarta, 55281

Telp:+62 811-284-680|Email: mmb@ugm.ac.id

© 2017 Magister Manajemen Bencana - Universitas Gajah Mada

AbstrakDosen PengajarMata KuliahKONTAK KAMI

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju