Sleman, DIY – Program Studi Magister Manajemen Bencana Universitas Gadjah Mada (MMB UGM) berkesempatan melakukan kunjungan edukatif ke Sekolah Air Hujan Banyu Bening pada hari Selasa, 14 Januari 2025. Sekolah ini berlokasi di Gg. Tempursari, RT.02/RW.027, Blekik, Sardonoharjo, Kec. Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kunjungan ini menjadi momen penting dalam memperluas wawasan mahasiswa mengenai pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan, khususnya air hujan yang itu merupakan salah satu solusi mengatasi problematika bab air di Indonesia bahkan Dunia.
Tiga mahasiswa MMB UGM yang mengikuti kunjungan tersebut adalah Muhamad Irfan Nurdiansyah, Muhammad Taqy, dan Silfani. Kehadiran mereka disambut dengan antusias oleh Sri Wahyuningsih, pendiri Komunitas Banyu Bening, yang akrab disapa Bu Ning. Turut mendampingi adalah Cak Jie, seorang aktivis lingkungan yang telah berkiprah sejak era Orde Baru. Konsistensi Cak Jie dalam menjaga kelestarian alam menjadikannya inspirasi besar bagi generasi muda yang peduli terhadap lingkungan.
Komunitas Banyu Bening didirikan oleh Bu Ning pada 12 Maret 2012. Tujuan utama komunitas ini adalah untuk mengampanyekan pemanfaatan air hujan sebagai alternatif kebutuhan air bersih, termasuk untuk konsumsi sehari-hari. Keprihatinan Bu Ning terhadap semakin sulitnya mendapatkan air bersih di beberapa wilayah menjadi pemicu utama terbentuknya komunitas ini. “Indonesia memiliki curah hujan yang melimpah, namun ironisnya, banyak daerah yang masih kesulitan memperoleh air bersih. Hal ini mendorong saya untuk memanfaatkan air hujan sebagai solusi sederhana namun berdampak besar,” ungkap Bu Ning saat ditemui di kediamannya.
Selain mengolah air hujan, Komunitas Banyu Bening juga mengedukasi masyarakat melalui teknologi elektrolisis. Proses ini digunakan untuk memanen dan memurnikan air hujan sehingga layak dikonsumsi. Melalui kegiatan ini, air hujan yang awalnya dianggap tidak layak minum, kini dapat digunakan sebagai sumber air bersih yang ramah lingkungan. Bu Ning menambahkan bahwa keberhasilan komunitas ini juga didukung oleh masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya konservasi air.
Untuk memperluas dampaknya, Bu Ning mendirikan Sekolah Air Hujan pada tahun 2019. Sekolah ini merupakan sekolah nonformal pertama di Indonesia yang mengajarkan pengelolaan, pemanfaatan, dan manajemen air hujan. Materi pembelajaran meliputi cara memanen air hujan, proses pemurnian, hingga langkah-langkah penyimpanan yang aman. Sekolah ini bertujuan mengubah paradigma masyarakat tentang air hujan, dari yang sebelumnya dianggap sebagai limbah menjadi aset berharga untuk keberlangsungan hidup.
“Sekolah ini bukan hanya tempat belajar, tetapi juga wadah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi besar air hujan. Kami ingin membangun generasi yang lebih peduli terhadap lingkungan dan siap menghadapi tantangan seperti kemarau panjang,” jelas Bu Ning. Kehadiran Sekolah Banyu Bening telah memberikan kontribusi nyata dalam mengatasi krisis air bersih di berbagai daerah, khususnya di Yogyakarta.
Kunjungan ini menjadi pengalaman berharga bagi mahasiswa MMB UGM. Mereka mendapatkan wawasan baru mengenai pentingnya pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan. “Kami belajar banyak tentang bagaimana air hujan yang selama ini terabaikan dapat menjadi solusi atas krisis air bersih. Ini membuka pikiran kami untuk berpikir lebih kreatif dan inovatif dalam mencari solusi terhadap masalah lingkungan,” ungkap Muhamad Irfan Nurdiansyah atau pria dengan sapaan Cak Irfan asal Surabaya tersebut, salah satu mahasiswa yang hadir.
Lebih dari sekadar belajar, kunjungan ini juga memotivasi para mahasiswa untuk terus mengadvokasi pelestarian lingkungan. Harapan besar muncul agar mereka, sebagai calon pembuat kebijakan dan praktisi di masa depan, dapat mendorong penerapan teknologi ramah lingkungan di berbagai sektor. Selain itu, mahasiswa juga diharapkan mampu mengarahkan perusahaan tempat mereka bekerja untuk mendukung konservasi air dan pelestarian lingkungan.
Cak Jie, yang turut mendampingi kunjungan ini, memberikan pandangannya mengenai pentingnya peran generasi muda. “Melestarikan alam bukan hanya tugas aktivis seperti kami, tetapi juga tanggung jawab semua orang, terutama generasi muda yang memiliki akses terhadap teknologi dan pendidikan. Jika mereka bisa memimpin perubahan, masa depan bumi akan lebih cerah,” tegasnya.
Melalui kunjungan ini, mahasiswa juga diajak merenungkan pentingnya menjaga alam untuk generasi mendatang. “Bumi ini bukanlah warisan dari nenek moyang kita, tetapi pinjaman dari anak cucu kita. Kita harus memastikan bahwa mereka dapat hidup di lingkungan yang sehat dan layak huni,” pesan Bu Ning kepada para mahasiswa.
Kegiatan ini diakhiri dengan sesi diskusi dan berbagi pengalaman. Para mahasiswa merasa terinspirasi oleh semangat dan dedikasi Bu Ning serta Cak Jie dalam menjaga kelestarian alam. Mereka berharap kunjungan ini dapat menjadi awal dari kolaborasi yang lebih besar antara dunia akademik dan komunitas dalam mencari solusi terhadap isu lingkungan.
Dengan melibatkan komunitas seperti Banyu Bening, mahasiswa MMB UGM berkesempatan untuk melihat langsung bagaimana aksi nyata di lapangan dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Kolaborasi antara akademisi, komunitas, dan pemerintah sangat diperlukan untuk menciptakan kebijakan yang tidak hanya efektif, tetapi juga berkelanjutan.