Yogyakarta — Gerakan sosial-ekonomi Bantu Petani yang diinisiasi oleh Masjid Nurul Ashri Yogyakarta kini menjadi contoh praktik baik dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan pemberdayaan berbasis komunitas.
Tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada yang terdiri dari Akhmad Aminullah, Silfani, Misran, Muhammad Taqy, dan Dina Ruslanjari memperkenalkan inovasi riset bertajuk “Transformasi Kedaulatan Pangan: Model Pemberdayaan Petani Berbasis Masjid Untuk Ketahanan Pangan Dan Pertanian Tangguh Terhadap Perubahan Iklim” sebagai kontribusi nyata dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 1 (Tanpa Kemiskinan), SDG 2 (Tanpa Kelaparan), SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), serta SDG 13 (Penanganan Perubahan Iklim).
Dari Masjid untuk Petani: Kolaborasi Iman dan Kemandirian Ekonomi Keadilan
Program “Bantu Petani” yang digagas oleh Masjid Nurul Ashri, Sleman, Yogyakarta, lahir dari keprihatinan terhadap ketimpangan harga hasil tani dan dampak perubahan iklim terhadap petani kecil. Program ini membantu distribusi dan memotong rantai pasok akibat gagal panen atau panen berlebih. Aksi ini telah menarik perhatian akademisi, pemerintah daerah, dan lembaga zakat untuk berkolaborasi hingga diadopsi oleh masjid lain di berbagai daerah.
Melalui dua skema utama, program ekonomi filantropi islam berbasis jastip (jasa titip hasil tani) dan program sosial berbasis sedekah, masjid bertransformasi menjadi pusat pemberdayaan sosial-ekonomi umat. Dalam program Jastip (deposit-based): jamaah menitipkan dana untuk membeli hasil tani dengan harga wajar—misalnya Rp2.000/kg saat harga pasar jatuh Rp500/kg—sehingga marjin kembali ke petani dan rantai pasok menjadi singkat. Sedangkan program sedekah (charity-based) adalah penyaluran pangan berkeadilan ke panti asuhan, pesantren, dan kelompok rentan; dengan nilai nilai distribusi ±Rp69 juta (2024–2025).
Menurut data tim UGM, dalam Juli 2024–September 2025 program ini telah berhasil menyerap lebih dari 15 ton hasil pertanian (sayur, salak, semangka, dll), menggerakkan lebih dari Rp361 juta nilai beli, menghimpun setara Rp70 juta sedekah untuk penguatan petani & masyarakat, menurunkan kerugian petani hingga 33%, menaikkan akses pasar sebesar 22%, dan meningkatkan partisipasi jamaah lebih dari 60%.
Menurut hasil penelitian tim, model ini tidak hanya menyelamatkan hasil panen petani, tetapi juga mendistribusikan lebih dari 15 ton hasil pertanian dan memberikan manfaat kepada lebih dari 10.000 penerima manfaat. Masjid bertindak sebagai community hub yang melakukan kurasi komoditas, pembelian kolektif, logistik, pelaporan, hingga edukasi sains-iklim bersama akademisi dan profesional.
Ke depan, Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Masjid Nurul Ashri tengah menyiapkan langkah-langkah keberlanjutan dengan menjalin MoU dengan berbagai program CSR juga program MBG pemerintah dan meluncurkan program koperasi masjid untuk memastikan perputaran ekonomi berjalan lebih konsisten dan berkelanjutan. Selain itu, kegiatan kajian sains rutin dengan dosen akademisi dan profesional diadakan untuk menguatkan literasi sains dan religi tata kelola sosial.
“Masjid berfungsi bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi sebagai community hub yang menyejahterakan umat,” ujar Dr. Akhmad Aminullah selaku ketua tim peneliti. Menurutnya, sistem ini mampu memperpendek rantai pasok, menstabilkan harga pangan, serta memperkuat solidaritas sosial di tengah tekanan perubahan iklim dan pasar global.
“Masjid bisa menjadi pusat inovasi sosial. Hal ini telah terbuka lebar dengan membuka ruang kolaborasi bagi masjid-masjid lain untuk belajar, berlatih, dan mereplikasi sistem ini,” ujar Silfani, anggota tim riset SPs UGM.
Riset ini juga menegaskan bahwa karakter sumber daya manusia yang dimiliki sebuah masjid sangat menentukan keberhasilan dan arah replikasi model ketahanan iklim serta kedaulatan pangan. Masjid-masjid besar di kawasan perkotaan, misalnya, cenderung lebih cocok menerapkan pendekatan profesional dengan dukungan staf bergaji, prosedur operasional logistik yang baku, serta jejaring kemitraan formal yang memungkinkan pengelolaan program secara terstruktur. Sebaliknya, masjid kampus maupun masjid berbasis komunitas dapat mengandalkan kekuatan relawan mahasiswa, dukungan asrama santri, serta skema beasiswa pemberdayaan untuk menggerakkan program secara lebih fleksibel dan partisipatif. Perbedaan kapasitas sumber daya manusia ini menunjukkan bahwa strategi replikasi perlu disesuaikan dengan konteks organisasi, bukan sekadar menyalin model yang sama.
“Model ini membuktikan bahwa faith-based innovation bisa menjadi solusi praktis dan inklusif untuk mencapai SDGs,” tambah Misran, anggota tim peneliti.
“Tujuan kami sederhana: kedaulatan pangan harus berangkat dari iman dan kebersamaan. Dari masjid, lahir ekonomi yang adil dan berkelanjutan,” tambah Taqy.
Melalui pendekatan berbasis iman, ilmu, dan solidaritas, model ini berpotensi menjadi gerakan nasional menuju SDGs 2030 Ketahanan Pangan Indonesia Berkelanjutan.
“Kedaulatan pangan tidak cukup hanya dengan teknologi, tapi dengan nilai kemanusiaan dan keimanan. Masjid menjadi ruang di mana ekonomi, ibadah, dan ilmu dapat berjalan beriringan.” tutup Prof. Dina Ruslanjari, Kaprodi MMB Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Bersama dukungan umat, program Bantu Petani bertransformasi dari gerakan solidaritas menjadi arsitektur ekonomi berbasis masjid: dana sosial menolong yang paling rentan, sedangkan pembiayaan syariah menggerakkan rantai pasok pangan yang adil dan berkelanjutan.