
Selasa, 13 Mei 2025 menjadi hari penuh makna bagi warga Dusun Kebur Lor, Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Bertempat di rumah Kepala Dusun Mujiyanto, sekitar 40 warga, khususnya ibu-ibu kelompok dasawisma, mengikuti kegiatan edukasi mitigasi bencana yang digagas oleh mahasiswa program Community and Family Health Care Interprofessional Education (CFHC IPE) Universitas Gadjah Mada (UGM). Program ini merupakan unggulan dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM yang melibatkan mahasiswa lintas program studi, seperti Kedokteran, Ilmu Keperawatan, Gizi Kesehatan, dan turut menggandeng mahasiswa dari Magister Manajemen Bencana (MMB) UGM sebagai penguat pendekatan lintas disiplin dalam konteks pengurangan risiko bencana.
Kehadiran mahasiswa Magister Manajemen Bencana UGM dalam program CFHC IPE menandai komitmen kolaboratif antar fakultas di UGM dalam membangun ketangguhan masyarakat berbasis akar rumput. Program ini tidak hanya berorientasi pada pelayanan kesehatan, namun juga secara strategis merespons kebutuhan kawasan rawan bencana seperti di lereng Merapi melalui pendekatan edukatif, promotif, dan preventif. Dusun Kebur Lor yang berada dalam zona Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi dipilih sebagai lokasi intervensi karena kerentanannya terhadap dampak letusan, seperti hujan abu, awan panas, dan potensi pengungsian.
Dalam pembukaan kegiatan, Dr. Daniel, M.Sc., Dosen Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial FK-KMK UGM menyampaikan bahwa kolaborasi antarprofesi yang diusung dalam CFHC IPE merupakan refleksi nyata dari semangat integrasi ilmu pengetahuan untuk kepentingan masyarakat. “Kami percaya bahwa membangun ketangguhan masyarakat tidak cukup dengan satu disiplin ilmu saja. Kolaborasi mahasiswa dari kesehatan dan manajemen bencana ini adalah model ideal pembangunan kapasitas masyarakat berbasis multidisiplin,” ujarnya.
Salah satu sorotan penting dalam kegiatan ini adalah sesi edukasi mitigasi bencana yang difasilitasi oleh Muhamad Irfan Nurdiansyah, mahasiswa Magister Manajemen Bencana UGM yang juga aktif sebagai fasilitator edukasi kebencanaan di berbagai daerah di Indonesia. Cak Irfan, sapaan akrabnya, menyampaikan materi mitigasi yang sangat kontekstual, mulai dari pemahaman bahaya Merapi, cara menghadapi hujan abu secara aman, hingga praktik menyusun tas siaga bencana. Dengan metode interaktif dan bahasa yang membumi, edukasi ini mampu menjangkau pemahaman warga yang beragam.
Dalam penjelasannya, Irfan menegaskan pentingnya pendekatan pengurangan risiko bencana yang berbasis partisipasi warga. “Kesiapsiagaan harus menjadi budaya, bukan hanya reaksi. Kami ingin warga tidak hanya paham teori, tapi juga bisa mempraktikkan dan menularkan pada keluarga dan tetangga,” jelasnya. Ia juga menyampaikan teknik sederhana seperti mengatur tekanan ban kendaraan saat melintasi jalan berdebu vulkanik dan pentingnya membawa masker cadangan serta air bersih untuk mengurangi risiko iritasi pernapasan.
Intervensi edukatif ini menjadi ruang belajar yang saling menguatkan. Mahasiswa mendapatkan pengalaman lapangan yang autentik, warga menerima informasi relevan, dan kampus memperoleh masukan dari realitas sosial di lapangan. Mahasiswa MMB UGM dalam hal ini menunjukkan peran strategis sebagai penghubung antara pengetahuan akademik kebencanaan dengan kebutuhan nyata masyarakat.
Rayna Adya, mahasiswa Kedokteran UGM yang turut terlibat, menyampaikan bahwa kegiatan ini memberi pengalaman lintas batas pengetahuan. “Kita bukan hanya bicara kesehatan, tapi juga belajar memahami risiko bencana, komunikasi risiko, dan strategi kolaboratif dalam menyampaikan informasi,” ujar Rayna.
Kepala Dusun Mujiyanto menyampaikan apresiasi mendalam atas kehadiran UGM yang menurutnya tidak hanya datang membawa program, tetapi benar-benar membangun kedekatan emosional dan praktis dengan masyarakat. “Kami merasa tidak sendiri. Ada generasi muda yang peduli dan siap membantu kami memahami risiko Merapi dengan cara yang sederhana tapi sangat berarti,” ujarnya.
Program CFHC IPE dengan integrasi mahasiswa MMB UGM menjadi contoh konkret dari pendekatan interprofesional yang responsif terhadap konteks geografis dan sosial masyarakat. Dalam konteks pengelolaan bencana, pendekatan ini sejalan dengan kerangka Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030, khususnya dalam aspek investasi dalam pendidikan dan peningkatan kapasitas masyarakat berbasis lokal.
Magister Manajemen Bencana UGM memiliki peran strategis untuk menyebarluaskan praktik-praktik kolaboratif seperti ini. Sebagai institusi pendidikan tinggi yang fokus pada kebencanaan, MMB UGM tidak hanya mencetak lulusan berwawasan akademik, tetapi juga aktor transformasi sosial di tengah masyarakat. Dokumentasi dan publikasi kegiatan seperti ini menjadi bukti bahwa ilmu kebencanaan yang diajarkan di kampus telah terimplementasi secara nyata dan memberikan dampak langsung di lapangan.
Ke depan, sinergi antar fakultas dan program studi di lingkungan UGM perlu terus diperkuat, terlebih dalam menghadapi tantangan kompleks akibat krisis iklim, urbanisasi, dan bencana berulang. Magister Manajemen Bencana UGM berkomitmen untuk terus berpartisipasi dalam inisiatif lintas-disiplin dan lintas-sektor yang berbasis pengabdian masyarakat dan penguatan kapasitas lokal.
Ketika mahasiswa kedokteran, perawat, ahli gizi, dan manajer bencana berjalan bersama menyapa warga lereng Merapi, maka yang terbentuk bukan hanya kegiatan edukatif, tetapi juga jembatan harapan menuju masyarakat yang lebih sadar risiko, tangguh, dan mandiri. Inilah wujud nyata semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian—yang dihidupkan di kaki Merapi.