
Seiring meningkatnya kesadaran bahwa penanggulangan bencana merupakan upaya multidimensi yang memerlukan keterlibatan lintas sektor, berbagai kerangka kerja dikembangkan untuk merespons kompleksitas tersebut. Salah satu pendekatan yang kini diarusutamakan adalah model kolaborasi pentahelix, sebuah konsep yang menekankan sinergi antara lima elemen utama dalam penanggulangan bencana, yakni pemerintah, masyarakat, akademisi, dunia usaha, dan media massa. Model ini tidak hanya memperluas cakupan aktor dalam pengurangan risiko bencana, tetapi juga memperkuat efektivitas dan keberlanjutan program yang dijalankan.
Dalam konteks inilah, mahasiswa Magister Manajemen Bencana Muhamad Irfan Nurdiansyah membangun penelitian tesisnya. Rencana penelitian ini dipresentasikan dalam seminar proposal pada hari Rabu, 28 Mei 2025. Dalam forum ilmiah tersebut, Irfan memaparkan rencana penelitian tesisnya yang berjudul “Kolaborasi Pentahelix Program Satuan Pendidikan Aman Bencana di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.” Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan kolaborasi lima aktor dalam penyelenggaraan program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), serta mengevaluasi efektivitasnya dalam meningkatkan pengetahuan dan kesiapsiagaan warga sekolah terhadap risiko bencana.
Penelitian Irfan didasari oleh meningkatnya urgensi pengarusutamaan pendidikan kebencanaan di Indonesia, khususnya di daerah rawan bencana seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang memiliki ribuan sekolah dengan tingkat risiko tinggi terhadap gempa bumi, banjir, dan bahaya hidrometeorologi lainnya. Mengacu pada Kerangka Sendai 2015–2030 dan peraturan nasional serta lokal terkait Sekolah Aman Bencana (SPAB), Irfan tertarik mengkaji efektivitas implementasi program SPAB di DIY yang selama ini menjadi salah satu daerah pionir dalam pelaksanaan program tersebut. Fokus utama penelitiannya adalah menilai bagaimana pendekatan kolaborasi lima actor atau yang dikenal sebagai model pentahelix, berperan dalam mendukung implementasi SPAB di tingkat satuan pendidikan.
Dalam pemaparannya, Irfan menekankan pentingnya sinergi lintas sektor dan keberadaan struktur kelembagaan yang fleksibel, kepemimpinan adaptif, serta sistem evaluasi dan akuntabilitas yang jelas agar kolaborasi pentahelix dapat berjalan efektif. Ia juga menjelaskan bahwa pengaruh program SPAB terhadap literasi kebencanaan diukur melalui indikator seperti pengetahuan risiko bencana, pemahaman rencana tanggap darurat, kesadaran terhadap sistem peringatan dini, serta kemampuan mobilisasi sumber daya dalam keadaan darurat.
Dengan pendekatan mixed methods sequential explanatory, Irfan merancang studi dengan dua tahapan analisis: kuantitatif dan kualitatif. Tahap kuantitatif mencakup survei terhadap warga sekolah di sepuluh sekolah yang telah menjalankan program SPAB, sedangkan tahap kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam dengan aktor kunci dari lima unsur pentahelix serta observasi partisipatif di lapangan. Tujuan utamanya adalah menganalisis bentuk kolaborasi, faktor pendukung dan penghambat, serta dampak dari kolaborasi tersebut terhadap peningkatan pengetahuan kebencanaan di lingkungan sekolah.
Melalui diskusi yang berlangsung, diharapkan penelitian Irfan dapat memberikan kontribusi ilmiah dan praktis dalam memperkuat model kolaboratif pentahelix sebagai fondasi kebijakan pendidikan kebencanaan yang inklusif dan berkelanjutan.