Hari pertama Januari 2024 menjadi duka bagi Jepang. Prihalnya Prefektur Ishikawa Jepang mengalami gempa besar. Gempa darat berkekuatan 7,5 magnitudo menghantam wilayah ini pada pukul 16.10 waktu setempat. Gempa telah memicu tsunami setinggi 1 hingga 1,2 meter di semenanjung Noto dan menyebabkan kebakaran pemukiman di kota Wajima.
Besarnya kekuatan gempa dapat diamati dari kiriman foto dan video yang dibagikan warga Jepang melalui media sosial X hingga Tiktok. Terlihat rumah-rumah penduduk mengalami kerusakan dengan berbagai tingkatan, rusak ringan hingga rusak berat. Jalanan utama di pusat gempa sempat terputus. Layanan kereta cepat Shinkansen menuju wilayah ini juga ditangguhkan. Selain itu jaringan listrik yang rusak mengakibatkan 36.000 rumah penduduk di prefektur Ishikawa dan Toyama mengalami pemadaman serta lebih dari 100 bangunan di kota Wajima hangus terbakar.
Meski dampak kerugian yang ditimbulkan tidak sedikit, tetapi jumlah korban meninggal akibat gempa ini sangat minim. Laporan terbaru per 3 Januari 2024 menyebut jumlah korban akibat gempa ini berjumlah 62 orang dengan kemungkinan terjadi penambahan. Tetapi jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan angka korban gempa 7,8M Turki setahun sebelumnya yang menewaskan lebih dari 50.000 orang, atau gempa 7M Haiti pada 2011 yang menewaskan lebih dari 100.000 orang.
Tidak berbeda jauh dengan kedua negara tersebut, Indonesia juga memiliki banyak catatan sejarah dimana gempa yang berkekuatan setara atau bahkan jauh lebih kecil dari Ishikawa Jepang namun menewaskan ratusan hingga ribuan orang. Sebut saja gempa 6,4M Yogyakarta tahun 2006 yang menelan korban 6.234 jiwa, gempa 7,4M Sulteng tahun 2018 yang merenggut 4.340 nyawa, dan terbaru gempa 5,6M Cianjur tahun 2022 yang memakan korban 602 orang.
Semua gempa yang disebutkan diatas memiliki karakteristik yang sama sebagaimana yang terjadi di Jepang yaitu gempa darat dengan kedalaman 10 km. Penulis patut menduga bila kekuatan gempa yang menimpa Ishikawa Jepang baru-baru ini terjadi di kota-kota padat penduduk Indonesia seperti Jakarta, Bandung atau Yogyakarta, penulis yakin jumlah korbannya dapat mencapai lebih dari 10.000 orang.
Bagaimana Jepang mampu menekan angka korban jiwa serendah ini?
Pertama, Jepang memiliki infrastuktur tahan bencana.
Sama seperti Indonesia, secara geografis Jepang merupakan wilayah yang sangat rentan mengalami gempa. Negara Jepang berada di zona pertemuan lempeng tektonik bumi yang termasuk dalam lingkaran cincin api dunia. Rata-rata gempa yang terjadi di Jepang per tahunnya dapat mencapai 966 kali. Jumlah ini berarti setiap bulannya Jepang mengalami gempa sebanyak 80 kali atau kira-kira tiap 9 jam sekali.
Sadar sebagai negara yang rawan mengalami gempa, Jepang sudah lama berinvestasi pada infrastruktur yang tangguh bencana. Jepang menerapkan peraturan yang ketat dalam membangun bangunan. Peraturan ini mempertimbangkan berbagai faktor seperti jenis tanah, kedalaman pondasi dan ketinggian bangunan. Juga mengharuskan bangunan memiliki stuktur yang fleksibel yang dapat bergerak besama tanah saat gempa terjadi, termasuk terdapat sistem peredam untuk meredam guncangan gempa. Terbukti mayoritas gedung dan bangunan di Jepang tetap berdiri kokoh meski diguncang gempa besar.
Infrastruktur yang tangguh merupakan syarat utama mengurangi angka kematian dan luka fatal. Ini menjadi penting dikarenakan penyebab utama kematian akibat gempa adalah tertimbun reruntuhan bangunan. Dengan membangun bangunan tahan gempa maka idealnya kita dapat mengurangi korban jiwa secara signifikan.
Prihal ini sebenarnya Indonesia tidak kalah dengan Jepang. Kita juga telah memiliki 27 SNI dan 25 pedoman teknis terkait bahan konstruksi bangunan dan rakayasa sipil yang juga mempertimbangkan mengenai jenis tanah, batuan, beton, agregat, struktur bangunan, dll. Itu semua dibuat untuk memastikan infrastruktur kita juga tangguh terhadap bencana. Namun pada tataran implementasi, regulasi ini kurang diindahkan.
Banyak hunian di Indonesia dibangun tanpa melibatkan orang yang paham mengenai teori bangunan sehingga pembangunannya terkesan asal jadi atau asal-asalan. Sebagian lain sengaja tidak membangun sesuai standar agar biaya pembangunannya menjadi lebih murah. Sebagian lainnya sengaja mengurangi mutu dan kualitas bangunan untuk dikorupsi. Praktik terakhir ini sayangnya justru marak terjadi pada proyek-proyek pembangunan fasilitas umum dan infrastruktur sipil yang dibiayai oleh negara.
Kemahiran Jepang dalam merancang bangunan tahan gempa adalah satu hal, tetapi komitmen mereka untuk menerapkan aturan negara demi melindungi masyarakatnya adalah hal lain yang patut kita tiru. Investasi pada bangunan tahan gempa mungkin lebih mahal, tetapi dalam jangka panjang pendekatan ini dapat menghemat pengeluaran karena terhindar dari kerusakan yang dapat kita cegah.
Kedua, Jepang memiliki sistem peringatan dini dan kesiapsiagaan yang dapat diandalkan.
Jepang telah mengembangkan sistem peringatan dini multi bahaya yang terintegrasi dan terhubung ke ponsel tiap penduduk. Peringatan dini ini akan dikirimkan melalui ponsel ke masing-masing warga sebelum bencana tersebut terjadi. Peringatan tersebut berupa alarm tanda bahaya disertai informasi kapan dan dimana bencana tersebut akan terjadi.
Canggihnya, peringatan dini ini akan masuk secara otomatis tanpa perlu install aplikasi apapun. Alarm akan tetap berbunyi meskipun ponsel sedang dalam mode hening. Peringatan akan tetap masuk meski meski provider warga yang dimiliki berbeda-beda. Bahkan peringatan juga diterima oleh warga negara asing sekalipun.
Secara sains, gempa memang tidak dapat diprediksi. Tetapi saat gempa terjadi terdapat selisih waktu antara gelombang kejut pertama yang tidak merusak dan gelombang kejut kedua yang bergerak lebih lambat namun merusak. Perbedaan kecepatan rambat kedua gelombang inilah yang dimanfaatkan pemerintah Jepang untuk membangun sistem peringatan dini gempa.
Waktu peringatan dini mungkin tergolong singkat, hanya 4-60 detik saja. Namun waktu ini disebut golden time karena cukup memberikan kesempatan kepada warga untuk mencari tempat berlindung, mematikan kompor, memberhentikan lift, menunda operasi medis, mengurangi kecepatan kereta cepat Shinkansen, menyiagakan sistem keamanan reaktor nuklir, menyiagakan tim rescue, dll. Teknologi peringatan dini gempa inilah yang belum kita miliki.
Hal lain yang tidak kalah menarik ialah jika terdapat tanda tsunami, peringatan dini bukan hanya dikirimkan melalui ponsel, tetapi juga disiarkan melalui stasiun TV secara live. Program TV yang saat itu sedang berjalan akan dihentikan sementara dan segera beralih menyiarkan peringatan dini tsunami. Televisi publik di Jepang secara serentak menayangkan tulisan ‘EVACUATE’ dalam huruf besar dan mendesak warga untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.
Jika saluran komunikasi terputus, pemerintah Jepang akan mengaktifkan layanan wifi satelit secara gratis yang dapat digunakan warga pada situasi darurat seperti mengabarkan diri kepada keluarga atau meminta pertolongan pada saat kritis. Wifi satelit ini disediakan di berbagai fasilitas umum, kawasan komersial atau tempat-tempat dimana masyarakat banyak berkumpul seperti stasiun, pusat perbelanjaan, kafe-kafe besar, restoran, bandara, toserba, dll.
Bentuk kesiapsiagaan lain yang dilakukan pemerintah Jepang ialah pelatihan dan simulasi bencana kepada warganya dimulai sejak taman kanak-kanak. Selain itu pusat evakuasi lokal dan fasilitas darurat lengkap juga tersedia untuk melayani masyarakat. Dengan sistem kesiapsiagaan sebaik itu maka pantas bila Jepang mampu menekan jumlah korban jiwa akibat bencana seminimal mungkin. Hal yang rasanya masih jarang kita temui di Indonesia.
Indonesia Juga Bisa
Peristiwa bencana yang terjadi di Jepang hari ini mengajarkan kita bagaimana budaya mitigasi dan kesiapsiagaan yang dibangun sejak dini berhasil mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat bencana. Sistem ini patut kita tiru, terlebih karakteristik ancaman bencana yang kita miliki juga mirip dengan negara Jepang.
Untuk mewujudkan hal tersebut banyak pekerjaan rumah yang perlu kita selesaikan. Paling utama ialah membangun kesadaran, budaya mitigasi dan kesiapsiagaan bencana melalui pendidikan diberbagai tingkatan. Sampai saat ini pendidikan merupakan satu-satunya cara paling efektif dan terbukti berhasil dalam mentransformasi nilai-nilai budaya baru kepada penduduk suatu negara. Pendidikan tersebut dapat dilakukan secara formal, informal maupun nonformal.
Namun ini semua memerlukan kolaborasi multipihak dan keberpihakan politik dari seorang pemimpin nasional. Bagaimanapun juga pengaruh dan kebijakan seorang pemimpin diperlukan untuk mengawal transformasi berjalan efektif dan efisien hingga ditataran masyarakat terbawah yang paling rentan menghadapi dampak bencana. Kepemimpinan dan keberpihakan politik ini dapat diwujudkan melalui penguatan sistem, kelembagaan, dan anggaran pengurangan risiko bencana yang termanifestasi dalam visi misi maupun dan rencana strategis yang disusunnya.
Terakhir, penting untuk diingat bahwa upaya ini memerlukan komitmen jangka panjang dan kerjasama yang kokoh antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Dengan kepemimpinan yang efektif dan dukungan yang konsisten dari masyarakat, penulis percaya Indonesia dapat belajar hingga sejajar dengan bangsa Jepang. Pada akhirnya kita berharap budaya mitigasi dan kesiapsiagaan yang kita kembangkan dapat melindungi nyawa warga negara dan mengurangi kerugian harta benda akibat bencana.
Profil Penulis:
Satrio Amrullah, Mahasiswa Magister Manajemen Bencana, Universitas Gadjah Mada Angkatan 2022