Yogyakarta, 23 September 2024 — Mahasiswa Program Magister Manajemen Bencana Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan kunjungan lapangan ke Desa Argomulyo, Sleman, sebagai bagian dari tugas mata kuliah Perencanaan Wilayah Berbasis Risiko Bencana. Kegiatan ini dilakukan di bawah bimbingan Prof. Ir. Bakti Setiawan, M.A., Ph.D., yang akrab disapa Prof. Bobi. Kelompok mahasiswa yang melakukan penilaian ini terdiri dari Muhamad Irfan Nurdiansyah, Fadhly Zul Akmal, Muhammad Taqy, Firli Yogiteten Sunaryoko, Silfani, dan Eleonora Fatima Joao Martins.
Pemilihan Desa Argomulyo
Desa Argomulyo dipilih sebagai objek kajian karena pengelolaan bencananya yang telah diakui sebagai yang terbaik di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2018. Nama Argomulyo sendiri berasal dari kata “Argo” yang berarti gunung, dan “Mulyo” yang berarti makmur, mencerminkan harapan masyarakatnya untuk mencapai kemakmuran di daerah pegunungan. Dengan luas wilayah 847 hektar, Argomulyo berbatasan dengan Desa Wukirsari di sebelah barat, Kepuharjo dan Glagaharjo di utara, serta Desa Kepurun Manisrenggo, Kabupaten Klaten di timur. Desa ini memiliki 22 dusun dan jumlah penduduk sekitar 8.004 jiwa. Keberadaan dua sungai besar, Kali Gendol dan Kali Opak, yang berhulu di Gunung Merapi, menjadikan desa ini sangat rentan terhadap bencana alam, terutama erupsi dan lahar.
Kunjungan ke Desa Argomulyo
Kunjungan mahasiswa ke Argomulyo dilaksanakan pada Senin, 23 September 2024. Mahasiswa disambut oleh Ibu Ervina, Sekretaris Desa Argomulyo, yang menjelaskan berbagai program yang ada, termasuk pentingnya peran desa dalam pengurangan risiko bencana. Dalam diskusi tersebut, mahasiswa direkomendasikan untuk bertemu dengan Pak Supri Semprit, Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Desa Argomulyo, yang juga merupakan pengurus Destana (Desa Tangguh Bencana).
Saat bertemu dengan Pak Supri, mahasiswa mendengarkan pengalamannya mengenai kesiapsiagaan bencana di Argomulyo. Ia menjelaskan, “Sebelum tahun 2010, masyarakat di sini hanya menonton ketika terjadi erupsi Merapi. Namun, setelah erupsi yang menimpa salah satu dusun di tahun 2010, kesadaran masyarakat mulai tumbuh.” Menurut data yang ada, dusun tersebut, yaitu Dusun Glagaharjo, mengalami dampak signifikan dari bencana, dan menjadi salah satu daerah yang menyumbang korban terbanyak.
Pak Supri mengungkapkan bahwa setelah erupsi 2010, masyarakat mulai berinisiatif untuk memantau jalur lahar ketika hujan turun. Sekelompok warga menggunakan radio komunikasi untuk memberi tahu dusun-dusun lain mengenai potensi bahaya. “Kepala desa merangkul inisiatif ini dengan memberikan fasilitas pendukung,” ujar Pak Supri. Inisiatif masyarakat ini mengarah pada pembentukan Tim Tanggap Bencana yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Melihat dampak bencana yang mengancam, Pemerintah Desa Argomulyo mengumpulkan berbagai elemen masyarakat, termasuk perangkat desa, tokoh masyarakat, dan komunitas relawan, untuk membahas penanganan bencana. “Berdasarkan arahan BPBD Sleman, pada September 2013, kami mulai mengadakan pertemuan dan pelatihan tentang pengelolaan risiko bencana,” katanya. Kegiatan pelatihan ini melibatkan narasumber dari BPBD, PMI, dan Tagana, yang membahas berbagai aspek, termasuk jenis bencana, dampak risiko, dan prosedur kesiapsiagaan.
Fasilitas dan Program Desa Tangguh Bencana
Mahasiswa kemudian mengunjungi pos Destana yang berfungsi sebagai pusat informasi dan kegiatan kesiapsiagaan bencana. Di sana, mereka melihat dokumen dan struktur yang mendukung Argomulyo sebagai salah satu desa tangguh bencana terbaik. “Argomulyo juga menjadi desa pertama yang diresmikan oleh BNPB sebagai pilot project Destana di Indonesia,” ujar Pak Supri. Pembangunan fasilitas ini dilakukan dengan partisipasi aktif masyarakat dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan lembaga non-pemerintah. Selama kunjungan, mahasiswa juga berkesempatan berbincang dengan anggota FPRB lainnya yang siap siaga dalam penanganan bencana. “Kami memiliki pos jaga dan mobil ambulans untuk membantu masyarakat saat terjadi bencana,” jelas salah satu anggota FPRB.
Keberadaan pos Destana dan mobil ambulans ini menunjukkan komitmen desa dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, terutama dalam situasi darurat. Selain itu, Argomulyo juga telah menjalankan berbagai program pelatihan dan simulasi untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Pada tahun 2019, desa ini mengikuti pelatihan manajemen gizi dalam situasi bencana yang diadakan oleh Pusat Kesehatan dan Gizi Manusia (PKGM) FK-KMK UGM. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi masalah gizi saat bencana, sehingga masyarakat dapat lebih siap menghadapi dampak yang ditimbulkan.
Membangun Ketahanan Komunitas Ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana tidak hanya bergantung pada infrastruktur fisik, tetapi juga pada kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat. “Kami selalu berupaya untuk melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatan penanganan bencana, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan,” kata Pak Supri. Dengan melibatkan masyarakat secara aktif, desa dapat membangun ketahanan yang lebih baik dalam menghadapi bencana. Keberhasilan Argomulyo dalam pengelolaan risiko bencana tidak terlepas dari dukungan semua elemen masyarakat. Setiap warga memiliki peran penting dalam menjaga keamanan dan keselamatan lingkungan mereka. Selain itu, kerja sama dengan pihak-pihak terkait, seperti BPBD, PMI, dan lembaga swadaya masyarakat, juga menjadi kunci keberhasilan desa ini.
Argomulyo sebagai Contoh Inspiratif
Dengan berbagai pencapaian yang telah diraih, tidak heran jika Argomulyo diakui sebagai desa tangguh bencana dan salah satu yang terbaik di Indonesia. Kunjungan ini memberikan pemahaman yang lebih dalam bagi mahasiswa Magister Manajemen Bencana UGM tentang pentingnya perencanaan dan pengelolaan bencana yang efektif di tingkat desa. Melalui pengalaman di Argomulyo, mahasiswa diharapkan dapat menerapkan pembelajaran tersebut dalam perencanaan wilayah berbasis risiko bencana di masa depan.
Desa Argomulyo telah menunjukkan bahwa dengan kerja sama dan kesadaran masyarakat, tantangan bencana dapat dihadapi dengan lebih baik. Kegiatan ini juga menegaskan pentingnya pendidikan tentang pengelolaan bencana di kalangan mahasiswa. Dengan memahami bagaimana sebuah desa dapat bertransformasi menjadi desa tangguh bencana, mahasiswa diharapkan dapat menjadi agen perubahan dalam masyarakat mereka masing-masing. Di era di mana bencana semakin sering terjadi, peran serta masyarakat dalam pengurangan risiko bencana menjadi semakin krusial.
Penulis: Muhamad Irfan Nurdiansyah